Menjadi tempat kembali

by - March 22, 2019

Sengaja nge-posting tulisan Bunda Kaska ini di blog saya, selain tulisan ini bagus banget buat dijadikan inspirasi dan pelajaran, dengan posting tulisan ini diblog saya juga memudahkan saya kalau tiba-tiba ingin membaca ulang tulisan ini. Saya sukaaaaakk banget sama tulisan ini...

Barakallah Bunda Kaska, terimakasih tulisannya....

Bismillah,
Menjadi tempat kembali

Setiap lelaki, semandiri apapun, sejauh apapun dia melangkah, dia akan selalu mencari tempat untuk kembali.

Saat memutuskan menikah, artinya mereka secara sadar atau tanpa sadar membutuhkan istri sebagai tempat kembali.

Lelah penat dengan aneka urusan di luar sana, maka saat kembali ke rumah mendapat ketenangan batin yang tak bisa mereka dapat di tempat manapun.

Berlelah-lelah di luar tentulah dengan niat menunaikan kewajibannya, entah itu menjemput nafkah halal, mengurusi aneka keperluan sesama manusia, berdakwah, dan lainnya.
Maka saat kembali mereka merasa ada sebuah pelukan besar dan hangat yang menenangkan hatinya.

Apa iya pria 'selemah' itu bun?
Mereka kan makhluk kuat, ga cengeng, mereka pun mampu mengerjakan semuanya sendiri?

Mereka mengerjakan semuanya sendiri, mengatasi perasaannya sendiri, tak akan sebaik jika ada seorang istri sebagai partner yang mendukungnya sepenuh hati, yang juga selalu ada sebagai tempat kembali.

Saya melihat sosok pria setua apapun tetaplah seperti seorang anak kecil yang selalu membutuhkan belaian sayang dan kata-kata motivasi atas setiap perbuatannya.
Sebaliknya, wanita meskipun dia jelas-jelas sering merengek untuk sebuah pelukan dan perhatian, mereka sebetulnya lebih mampu mengatasi perasaannya sendiri dan akhirnya berbuat sesuatu tanpa selalu harus ada support dari siapapun.

Apa itu artinya pria lebih lemah?
Bukan.
Itulah gunanya suatu pernikahan.
Peranan suami dan peranan istri ada porsinya masing-masing.
Kita pelajari dan teladani kisah Nabi dan para sahabat.
Peranan istri digambarkan begitu indah dan kuat pengaruhnya bagi sosok-sosok pilihan tersebut.
Mereka yang didukung istrinya, rumah tangganya penuh keberkahan, keturunannya soleh solehah, sukses memiliki umat yang banyak, sukses dijanjikan surgaNya Allah di akherat kelak.

Kriteria sukses ini bukan dari segi rumahnya mewah, jabatannya mentereng, hartanya banyak, dll.
Tapi sejauh mana suami dan istri mampu menunaikan peranannya sesuai dengan apa yang Allah kehendaki dalam rumah tangganya.

Saat suami ragu dengan dirinya, maka sang istrilah yang mensupport dan memotivasi dengan kata-kata yang baik.
Saat suami ada rasa gelisah, takut, khawatir dan sebagainya yang mana wajar sebagai seorang manusia, sang istrilah yang menguatkan hati dan mendoakan dengan sebaik-baik doa.
Saat suami ada yang merendahkan, merasa kecil hati, maka sang istrilah yang menghibur dengan lemah lembut dan mengembalikan harga dirinya.
Saat suami membutuhkan teman bicara, membutuhkan saran dan masukan, sang istrilah yang menjadi pendengar yang baik, memberi usulan dengan rendah hati tanpa ingin menonjolkan diri.
Di saat semua orang tak memberinya kepercayaan, sang istrilah yang terus memompa semangat dan mensupport tanpa lelah.
Untaian doanya ikhlas demi kebaikan bersama.

Maka kita sebagai istri ingat terus peranan penting ini.
Perbanyak s y u k u r, dan
Jadilah t e m p a t  k e m b a l i.

Bukan sekedar fisik rumah yang lapang, penuh dengan kebendaan yang seolah menjadi tolak ukur bagusnya suatu tempat tinggal, tapi jadilah bagian dari ruh rumah tersebut.

Jadilah istri yang menyenangkan saat suami kembali pulang.
Yang dengan senyumannya mampu menghilangkan penat.
Yang dengan kata-kata lemah lembut dan gurauan sayangnya mampu mengembalikan semangatnya.
Yang dengan hadirnya mampu memberi ketenangan baginya.

Jika kita sendiri sebagai istri sering merasa tak betah di rumah, lebih senang dan bahagia di luaran sana, jangan harap bisa menjadi tempat 'kembali' bagi suami ataupun anak.

Jika kita sendiri sebagai istri merasa kebahagiaan kita bukan sebagai tempat kembalinya suami dan anak-anak kita, maka sesungguhnya rumah tangga kita di ambang kehancuran.
Na'udzubillaah.

Hati seorang istri penentu damai dan tentramnya sebuah rumah.

Jangan berharap orang lain yang akan mewujudkan ketentraman itu bagi kita, tapi kita berusaha mencharge diri dengan aneka upaya mendekatkan diri pada Allah.

Adanya saling membantu, saling mensupport adalah benar itu idealnya suatu hubungan rumah tangga, tapi jika pihak lain tidak mampu menjalankan perannya dengan baik, kita tau kemana harus mengadukan semua masalah, kita tau kemana harus memohon kebaikan dunia akhirat bagi diri kita dan keluarga.

Karena, manusia itu ada yang dijadikan sebagai ujian bagi manusia lainnya.
Yang kita upayakan adalah, jangan malah kita yang tanpa sadar menjadi sosok ujian tersebut.
Ujian bagi suami kita.

Alih-alih menjadi tempat kembali yang menyenangkan, kita justru yang malah membuat suami tidak betah di rumah.
Aneka keluhan, bentakan, muka masam, keadaan diri apa adanya yang minta terus dimaklumi tanpa ada suatu usaha, enggan melayani dengan alasan lelah dengan urusan anak dan rumah tangga, merasa kurang, dan sering menghilang-hilangkan kebaikan dari suami, atau terlalu sibuk dengan urusannya sendiri yang bukan sesuatu yang wajib atau prioritas sehingga justru melalaikan tugas kita yang utama sebagai istri dan ibu.
Sibuk dengan aktualisasi diri, sibuk bersolek memperbaiki fisik dengan motivasi utama bukan tampil cantik untuk di hadapan suami, lebih senang dengan pujian dari orang lain yang mungkin palsu, daripada berusaha berbuat sesuatu yang nyata-nyata bisa mengambil hati suaminya.

Sebelum kita sadar dan menerima sepenuhnya, bahwa setelah menikah hidup kita bukanlah seputar diri kita sendiri, bukan selalu tentang apa yang kita senangi bagi diri sendiri, bukanlah yang penting aku yang benar maka demikianlah debat percekcokan tak kunjung usai demi ego sendiri, maka rumah tangga kita akan jauh dari bahagia.

Sejauh apapun kita melangkah, fitrah seorang wanita adalah di rumahnya.
Akan banyak hal baik terjadi saat wanita ikhlas diam di rumahnya menjalankan peranannya sebaik-baiknya dan menghiasi dirinya dengan aneka amalan soleh.

Setelah menikah, inti dari sebuah rumah tangga adalah sejauh mana mau berkorban.

Mengorbankan apa kesenangan kita yang mungkin tak bisa lagi kita kerjakan.
Mengorbankan ego bahwa mengalah itu bukan berarti artinya kalah.
Mengorbankan perasaan bahwa adakalanya memang terlalu perasa justru berakibat buruk, dan memilih lebih mengedepankan akal sehat.

Pengorbanan yang dilakukan dengan ikhlas insyaallah akan membuahkan kebahagiaan.

🌸Kita harus tau kapan kita harus maju untuk mensupport suami, dan kapan kita harus mundur untuk membiarkan suami maju.🌸

Yang sesungguhnya semua itu demi kebahagiaan dunia dan akhirat kita sendiri juga.

Semua yang kita banggakan selama ini akan diri kita, entah kecantikan, kekayaan, kecerdasan, dan lainnya tapi tidak digunakan dalam ketaatan pada Allah dan ketaatan pada suami, kelak semua itu tak ada gunanya lagi.
Dan penyesalan menjadi sesuatu yang sangat terlambat.

Insyaallah tulisan ini diniatkan untuk mengingatkan diri sendiri,semoga Allah perbaiki segala kekurangan 😔, dan mungkin ada manfaatnya bagi yang lain.

Barakallaahu fiik
Bunda kaska

You May Also Like

0 comments